Seharusnya aku sudah menikmati apa yang seharusnya sudah kumiliki tapi nyatanya belum kumiliki. Yang kumiliki kini hanya kenangan-kenangan, dan kubuka diriku untuk menyimpan kenangan-kenangan itu hingga bila perlu, akan kubuka kembali di saat yang tepat, dan langkah-langkah kakiku yang goyah senantiasa bisa memantapkan diri kembali dan tersambung lagi dengan kehidupanku selanjutnya seandainya bisa kumiliki yang harusnya kumiliki.
Tetapi lukaku sudah mengeras, sama seperti senyumku yang mengeras. Nyatanya aku tak mampu melakukan apa-apa, tak mencapai apa-apa dan semua hanya khayalan dan bayanganku saja, karena sedari kecil aku senang sekali berkhayal. Bukankah khayalanku sudah sering kuceritakan padamu. Lukaku perlahan mengeras jauh sebelum luka itu mengeras sepenuhnya. Segalanya bergerak sendiri di luar keinginanku, yang sebenarnya sudah kuduga akan terjadi namun kuacuhkan dan semua tandanya kubantahkan. Jika tidak, aku takkan terus menerus merasa cemas dan gelisah, bahkan pada diriku sendiri. Dan luka yang mengeras harusnya mengeringkan air mataku, tapi bahkan kini ketika aku menulis ini, air mataku mulai merebak, dan satu isakan keluar tanpa kusadari.
Bila ada yang bertanya tentang kesedihan dan lukaku, aku hanya ingin cepat-cepat pergi dari orang itu, dan menyendiri, karena aku sungguh tak tahan mendengar ketidaktulusan dalam suaranya.
Aku terlalu kecewa dan mati rasa, hingga tak ingin melakukan apa-apa. Aku hanya akan berbaring saja sambil menghitung nafasku. Dan ketika aku menemukan sandalku tidak diletakkan dengan sejajar atau ketika kulihat alat-alat gambarku berantakan aku menjadi akan sangat marah. Mengalami keresahan seperti orang bingung. Aku bisa tidur kapanpun aku mau, tapi bahkan aku tak bisa lelap untuk semenitpun. Aku kesepian tapi ketika ada seseorang yang menemaniku aku begitu menginginkan kesendirianku dan tak mendengar sedikitpun yang dia katakan, hanya menatap bibirnya yang bergerak-gerak.
Hanya ada suatu waktu, ketika angin kencang seperti puting beliung menghempaskan pintu rumahku yang kubuka untuk mengambil koran di depan pintu, dan itu cukup membuat perasaanku bangkit kembali, ada semacam kerinduan yang mirip dengan yang pernah kurasakan ketika masih bersamamu, tapi kini kerinduan pada diriku sendiri yang pernah sungguh kucintai. Dan kerinduan ini mencambukku, membuat punggungku terasa dingin. Perasaan bahagia yang selalu kuinginkan. Membuatku ingin bergegas melakukan apapun yang belum kulakukan. Tidak ada lagi keraguan, masih ada waktu. Meski ada ketidakpastian tentang masa depan. Kehidupan harusnya lebih ramah padaku.
Kini ketika aku memandang kenangan-kenanganku, perasaan yang kurasakan hanya hampa. Hanya kebahagiaan tentang ketidakpastian ini sajalah yang akan kupegang untuk melangkah lagi.