Mengenang yang telah pergi,

bagian dari diriku, yang selalu akan menjadi seperti itu, takkan pernah pergi selama aku masih hidup, dalam jiwaku, dalam hatiku, dalam semangatku.

Kasih yang akan dikenang dengan suka cita, ketika masa-masa air mata kesedihan sudah berlalu. Karena kau takkan lagi dikenang dengan air mata, kau adalah kebahagiaan.

Aku adalah aku, karena aku mengalami kehilangan ini, aku takkan pernah menjadi aku yang sekarang jika aku tak pernah memilikimu lalu kehilanganmu. Kami masih saling memiliki.

Kasih itu luar biasa, indah dan sederhana.

Semua datang bersama dengan kebijaksanaan baru akan kehidupan. Bagaimana caraku menghadapi kasih yang seperti ini.

Kasih menemukan caranya sendiri untuk dapat dinyatakan. Kasih bisa bertambah besar, bisa berubah menjadi bentuk lain tapi semuanya tetap akan dikenang sebagai sesuatu yang indah.

Karena semua yang kulakukan adalah dengan kasih, mengalir sederhana, maka akan melekat selamanya.

Lukaku

Seharusnya aku sudah menikmati apa yang seharusnya sudah kumiliki tapi nyatanya belum kumiliki. Yang kumiliki kini hanya kenangan-kenangan, dan kubuka diriku untuk menyimpan kenangan-kenangan itu hingga bila perlu, akan kubuka kembali di saat yang tepat, dan langkah-langkah kakiku yang goyah senantiasa bisa memantapkan diri kembali dan tersambung lagi dengan kehidupanku selanjutnya seandainya bisa kumiliki yang harusnya kumiliki.

Tetapi lukaku sudah mengeras, sama seperti senyumku yang mengeras. Nyatanya aku tak mampu melakukan apa-apa, tak mencapai apa-apa dan semua hanya khayalan dan bayanganku saja, karena sedari kecil aku senang sekali berkhayal. Bukankah khayalanku sudah sering kuceritakan padamu. Lukaku perlahan mengeras jauh sebelum luka itu mengeras sepenuhnya. Segalanya bergerak sendiri di luar keinginanku, yang sebenarnya sudah kuduga akan terjadi namun kuacuhkan dan semua tandanya kubantahkan. Jika tidak, aku takkan terus menerus merasa cemas dan gelisah, bahkan pada diriku sendiri. Dan luka yang mengeras harusnya mengeringkan air mataku, tapi bahkan kini ketika aku menulis ini, air mataku mulai merebak, dan satu isakan keluar tanpa kusadari.

Bila ada yang bertanya tentang kesedihan dan lukaku, aku hanya ingin cepat-cepat pergi dari orang itu, dan menyendiri, karena aku sungguh tak tahan mendengar ketidaktulusan dalam suaranya.

Aku terlalu kecewa dan mati rasa, hingga tak ingin melakukan apa-apa. Aku hanya akan berbaring saja sambil menghitung nafasku. Dan ketika aku menemukan sandalku tidak diletakkan dengan sejajar atau ketika kulihat alat-alat gambarku berantakan aku menjadi akan sangat marah. Mengalami keresahan seperti orang bingung. Aku bisa tidur kapanpun aku mau, tapi bahkan aku tak bisa lelap untuk semenitpun. Aku kesepian tapi ketika ada seseorang yang menemaniku aku begitu menginginkan kesendirianku dan tak mendengar sedikitpun yang dia katakan, hanya menatap bibirnya yang bergerak-gerak.

Hanya ada suatu waktu, ketika angin kencang seperti puting beliung menghempaskan pintu rumahku yang kubuka untuk mengambil koran di depan pintu, dan itu cukup membuat perasaanku bangkit kembali, ada semacam kerinduan yang mirip dengan yang pernah kurasakan ketika masih bersamamu, tapi kini kerinduan pada diriku sendiri yang pernah sungguh kucintai. Dan kerinduan ini mencambukku, membuat punggungku terasa dingin. Perasaan bahagia yang selalu kuinginkan. Membuatku ingin bergegas melakukan apapun yang belum kulakukan. Tidak ada lagi keraguan, masih ada waktu. Meski ada ketidakpastian tentang masa depan. Kehidupan harusnya lebih ramah padaku. 

Kini ketika aku memandang kenangan-kenanganku, perasaan yang kurasakan hanya hampa. Hanya kebahagiaan tentang ketidakpastian ini sajalah yang akan kupegang untuk melangkah lagi.

“Untuk Masa-Masa Bahagia”

Jembatan itu sudah terbakar, menjadi puing yang teronggok menyedihkan di pinggiran sungai.

Aku tahu, semua sudah berakhir, tapi kehidupan masih berjalan terus, dan waktu masih berdetik.

Menyisakan sedikit kenangan akan kebahagiaan yang takkan pernah kutengok lagi. 

Tak ada gunanya mencari tahu mengapa dan siapa yang membakarnya.

Yang kuingin tahu hanyalah, bersyukurkah aku karena telah pernah melewati jembatan itu ribuan kali? Dan jawabannya tengah kuaduk di ribuan syaraf di kepalaku.

Masih terdengar senandung rintik hujan yang turun perlahan, yang masih kunikmati dari seberang sini.

Kutundukkan perlahan kepalaku dan kuhela nafas yang tak kusadari kutahan sedari tadi, dan kubisikkan perlahan,”Untuk masa-masa bahagia.”

Waktu

 

Di dalam anganku di tengah kabut pikiran yang berseliweran waktu masih mau bersahabat denganku, hingga dapat kuperintahkan dia untuk diam, bergerak lebih cepat, bergerak lebih lama, atau bahkan kembali ke awal hingga aku dapat menyusun lagi.

Tapi waktu adalah kenyataan yang menggenggamku dalam gelombangnya yang tak berkesudahan, kadang bergelombang kecil mengayunku dalam kantuk yang menyenangkan, atau bergelombang tinggi bagai ingin menelanku hingga ke dasarnya tapi nyatanya aku tak ada dimana-mana dan tak kemana-mana.

Dan aku selalu menggumamkan doa yang mengalir dari bibirku yang terkatup. Doa yang tak bernyawa, hanya berupa hafalan sedari aku masih kanak-kanak. Yang dahulu kala pernah menjadi tempatku untuk bergantung dan bersandar pada setiap langkahku yang gamang dan labil.

Di satu tempat dan di satu saat nanti, kukira aku masih berharap akan bersahabat dengan waktuku sendiri. Sekarang, aku masih berjalan dalam perziarahanku yang terus berlangsung dalam kenangan.